Judul: Montase
Penulis: Windry Ramadhina
Penerbit: Gagas Media
357 halaman, 2012
Aku berharap tak pernah bertemu denganmu.
Supaya aku tak perlu menginginkanmu, memikirkanmu dalam lamunku.
Supaya aku tak mencarimu setiap kali aku rindu.
Supaya aku tak punya alasan untuk mencintaimu.
Dan terpuruk ketika akhirnya kau meninggalkanku.
Tapi...,
kalau aku benar-benar tak pernah bertemu denganmu, mungkin aku tak akan pernah tahu seperti apa rasanya berdua saja denganmu. Menikmati waktu bergulir tanpa terasa.
Aku juga tak mungkin bisa tahu seperti apa rasanya sungguh-sungguh mencintai...
dan dicintai sosok seindah sakura seperti dirimu.
Supaya aku tak perlu menginginkanmu, memikirkanmu dalam lamunku.
Supaya aku tak mencarimu setiap kali aku rindu.
Supaya aku tak punya alasan untuk mencintaimu.
Dan terpuruk ketika akhirnya kau meninggalkanku.
Tapi...,
kalau aku benar-benar tak pernah bertemu denganmu, mungkin aku tak akan pernah tahu seperti apa rasanya berdua saja denganmu. Menikmati waktu bergulir tanpa terasa.
Aku juga tak mungkin bisa tahu seperti apa rasanya sungguh-sungguh mencintai...
dan dicintai sosok seindah sakura seperti dirimu.
Ah, satu lagi novel yang mengangkat cerita dengan sudut pandang laki-laki yang saya baca. Saya suka cara penulis menggambarkan cerita dengan sudut pandang laki-laki. Kesannya jadi beda, nggak pasaran. Montase, sebuah novel ringan dan menghibur. Sebuah cerita tentang mimpi---Saya lebih suka menyebutnya demikian, ketimbang cerita roman dewasa muda mengharu biru dengan tokoh pengidap leukemia---dan kekuatannya, untuk sebuah pencapaian tak terduga.
Kisah ini berfokus pada dua sidekick:
Rayyi, yang
demi papanya merelakan keinginannya dengan kuliah di kelas peminatan
produksi karena papanya ingin ia kelak menjadi produser tersohor sama
sepertinya. Padahal, Rayyi sangat mencintai film documenter---bukan
sinetron---film sampah, katanya. Hampir sama dengan Rayyi, Haru Enomoto---seorang mahasiswi Jepang yang sedang melakukan studi banding di Jakarta---juga
mengalami kisah yang hampir sama. Haru mempunyai bakat luar biasa di
bidang melukis, namun ia memilih menekuni mimpinya yang lain yaitu
menjadi mahasiswa di kelas Film documenter karena ia ingin membahagiakan
orangtuanya.
"Selalu ada impian yang lebih besar dari impian lain, kan?" Begitu kata Haru.
Kisah cinta di novel ini cukup sederhana, namun begitu terasa dan mengharukan. Menyenangkan, menyentuh perasaan, dan mengaduk-aduk emosi. Ea.